Oleh : F. Rudy Dwiwibawa
Diambil dari majalah Bianglala
Hymne Guru
Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti, trimakasihku ntuk pengabdianmu.
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan,
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa
(Sartono)
Saat kita mendengar lagu “Hymne Guru” hati kita menjadi tersentuh. Betapa mulia dan besar jasa seorang guru dalam menyumbang kemajuan suatu bangsa. Guru disanjung dan dipuja begitu luar biasa karena diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan, sebagai embun penyejuk dalam kehausan, dan sebagai patriot pahlawan bangsa. Namun apakah cukup hanya berhenti pada sekadar sanjungan dan pujian? Terlebih di akhir bait lagu tersehut dikatakan guru adalah patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Cukupkah seorang guru hanya diberi gelar “Pahlawan tanpa tanda jasa?
Di zaman yang semakin susah ini, orang tidak akan mampu hidup hanya dengan sanjungan dan pujian. Gelar “pahlawan tanpa tandajasa” tidak mampu memberi hidup yang layak bagi mereka, bahkan justru membebani. Di zaman ini yang dibutuhkan bukan sekadar sanjungan atau pujian atau gelar, lebih pada perhatian dan penghargaan atas suatu pengabdian yang begitu luar biasa. Jika bukan bangsa mi yang memberi apresiasi atau penghargaan yang selayaknya pada GURU, lalu siapa lagi? Ataukah kita harus berharap pada bangsa lain? Bukankah sejarah membuktikan bahwa kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada bangsa lain?
Sungguh ironis, guru yang merupakan profesi yang amat mulia hanya dianugerahi gelar ‘tanpa tanda jasa”, Padahal gurulah yang mengantarkan manusia-manusia Indonesia menuju kepada keberhasilannya. Ilbaratnya
pengorbanan dan jerih payah para guru tidak dapat tergantikan, bahkan dengan penghargaan sekali pun.
Y. Suhartono (Guru dalam Tinta Emas, 2006:ix} menjelaskan bahwa kita bisa membaca dan menulis, guru yang mengajarkan. Kita dapat menduduki jabatan tertentu, guru jugalah yang menghantarkannya. Kita bisa berkreasi atau berwirausaha, ya tetap gurulah yang mempunyai andil besar. Tanpa guru kita tidak dapat seperti sekarang ini.
Begitu besar peran seorang guru dalam kehidupan kita. Namun, ketika kita sudah berhasil meraih impian, kita cenderung melupakan jasa-jasa guru. Ketika murid-muridnya telah berhasil menjadi presiden, gubernur, pengusaha, atau apa pun, guru tetaptah guru dengan gaji yang pas-pasan. Yang berubah dari guru hanyalah usianya yang semakin menua.
Nasib Guru di Indonesia
Entah pemerintah yang salah menerjemahkan lirik lagu “Hymne Guru” atau pengarang lagu yang salah dalam memilih kata-katanya, atau bahkan para guru sendirilah yang terlena dengan sanjungan dan pujian?
Kata-kata “pahlawan tanpa tanda jasa” diterjemahkan sebagai pengabdian yang tanpa pamrih. Sehingga tidak. mendapat penghargaan atau pun gaji yang layak tidak melawan atau memberontak. Dengan diberi gelar pahlawan (dibaca: orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenanan atau pejuang yang gagah berani), bukankah kata pahlawan mengandung makna yang luar biasa sehingga mampu menyihir ribuan guru di negeri ini? Sungguh, kata-kata tersebut seperti senjata makan tuan.
Nasib guru dari dulu sampai saat mi sepertinya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan Iwan Fals dalam salah satu lagunya yang berjudul ‘Oemar Bakrie” mengisahkan tentang nasib guru yang memilukan. Dalam lagu tersebut digambarkan sesosok guru yang bernama Oemar Baknie, yang mengabdikan seluruh hidupnya dengan penuh dedikasi sampai usia tua. Meskipun gajinya yang kecil sering “disunat” sehingga semaikin kecil, namun Oemar Bakrie tetap semangat mengajar murid-muridnya.
Saat munid-muridnya telah “jadi orang”, sosok guru Oemar Bakrie tetap saja sederhana kalau tidak boleh dikatakan miskin, dan nasibnyapun tak kunjung membaik. Di zaman yang serba komputer, serba instant, dan serba modern mi, nasib guru masih tidak jauh berbeda dengan Oemar Bakrie dalam gambaran Iwan Fals.
Salah satu contoh adalah seorang guru yang mengajar di sebuah wilayah di daerah Gorontalo (Fahnaarosyada, kotasantri.com). Ia mengisahkan bahwa untuk mengambil gajinya yang banya sekitar 1 juta, ia barus berangkat dari rumah pukul 5 pagi, dan baru sampai di kota tujuan untuk mendapatkan gajinya sekitar pukul 8 malam. Untuk menempuh perjalanan yang sangat jauh itu, guru tersebut harus mengeluarkan biaya sebesar 200 ribu. Dan hal itu harus dilakoninya setiap bulan.
Contoh lain, adalah seorang guru di Bekasi, sebuah tempat yang tidak tertalu jauh dengan Ibu kota negara kita, Indonesia. Dikisahkan oleh Ferdy Hasan dan Rieke Diah Pitaloka dalam acara yang dipandunya ‘Good Morning’, ada seorang guru di Bekasi yang menjadi tukang ojek. Ia terpaksa menjadi tukang ojek karena dengan gajinya yang hanya 400 ribu, jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Contoh yang lain yang tidak kalah memilukan adalah nasib 262 guru TK/RA/BA swasta di Kabupaten Rembang, (Suara Merdeka, Rabu 5 September 2007). Mereka mendapatkan gaji Rp 30.000,00 per bulan. Meskipun gaji inereka ”sangat tidak masuk akal” namun para guru tersebut tetap mengajar dengan tekun.
Menurut mereka, mereka masih tetap bertahan mengajar karena NURANI mereka saja. Mereka merasa kasihan kalau anak-anak desa itu tidak ada yang mengajar. Niat yang tulus tersebut mampu menimbulkan keajaiban. Bagaimana tidak ajaib? Dengan gaji Rp 30.000,00 per bulan mereka tetap mampu mencukupi kebutuhan hidupnya bersama keluarga. ”Saya yakin semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa” kata Prihatin Utomo (29) Guru TK Desa Pace Kecamatan Sedan.
Ketiga contoh di atas hanyalah sebagian kecil gambaran nasib Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Masih banyak guru-guru lain yang mempunyai nasib seperti mereka. Hal yang patut kita pertanyakan adalah mengapa nasib para guru di negeri kita begitu merana dan memprihatinkan? Haruskah lirik lagu pahlawan tanpa tanda jasa diganti dengan pahlawan dengan sejuta jasa?
Gaji guru sangatlah rendah bahkan kadang kala lebih rendah dari UMP, tak ubahnya gaji para pekerja kasar yang tidak memerlukan keahlian apa pun dalam menjalankan pekerjaannya. Sementara untuk menjadi seorang guru dituntut harus lulusan S1 bahkan S2, tetapi gaji mereka? (www.sinarharapan.co.id) Padahal guru dituntut profesional. untuk menjadi profesional dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bagaimana tidak? Guru harus banyak membaca buku, membaca koran, melihat tv mengakses internet, mengikuti seminar, dsb. Hanya dengan berbagai kegiatan tersebutlah guru mampu mengembangkan kemampuannya secara profesional.
Semoga saja nasib guru akan semakin lebih baik di masa-masa yang akan datang. Semoga pemerintah memberikan perhatian yang adil kepada para guru baik PNS maupun guru swasta. Bagaimana pun juga harus kita sadar bahwa peran guru swasta sangat besar dalam ikut memajukan dunia pendidikan di negeri ini.
Seorang pengamat pendidikan, Utomo Dananjaya (www.sinarharapan.co.id) mengatakan seharusnya kesejahteraan guru, baik PNS maupun non-PNS menjadi prioritas perhatian pemerintah. Terlebih para guru yang mengajar di SD dan SMP. Karena, para guru SD dan SMP merupakan bagian dari program wajib belajar. Dalam pelaksanaannya program wajib belajar ini pun melibatkan peran guru non-PNS,. OIeh karena itu, sudah seharusnya jika pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka, Sertifikasi yang saat ini tengah hangat diperbincangkan di kalangan para guru dan dunia pendidikan pada umumnya menjadi secercah harapan bagi para guru. Meskipun pada kenyataannya proses sertifikasi itu sendiri menjadi begitu rumit karena banyak sekali komponen atau syarat-syarat yang harus dipenuhi. Namun demikian bila seorang guru dinyatakan lulus uji sertifikasi, maka guru tersebut berhak atas tunjangan profesi sebesar satu kali gaji. Hal tersebut berlaku untuk guru negeri maupun swasta. Tunjangan bagi para guru yang lulus sertiflkasi tersebut akan diperoleh dari pemerintah.
Undang-undang Guru dun Dosen pasal 16: Guru yang memiflki seriffikat pendikik memperoleh tunjangan profesi sebesar 1 x gaji .. guru negeri maupun swasta ... dibayar pemerintah...
Kita semua berharap agar sertifikasi dapat berjalan dengan baik dan lancar. Dengan demikian nasib para guru di negeri ini akan semakin baik dan sejahtera. Dan dengan semakin sejahteranya para guru dan dosen, maka dunia pendidikan akan semakin maju.
Penutup
Kita semua harus menyadari bahwa ujung tombak pendidikan nasional adalah guru. Bila ujung tombak tersebut tidak mendapat perhatian sebaik-baiknya, maka tidak mungkin negeri ini akan semakin terpuruk. .Keceriaan para guru menjadi keceriaan bangsa ini. Dengan hanya dianugerahi gelar tanpa tanda jasa, para guru dengan tulus mendedikasikan seluruh hidupnya demi kemajuan pendidikan dan bangsa Indonesia, Apalagi, bila pemenintah sungguh-sungguh memperhatikan nasib para guru, dan mereka bisa mengumandangkan lagu Hymne Guru dengan lantang ” ...engkau patriot pahlawan bangsa.. dengan sejuta tanda jasa!”
No comments:
Post a Comment